PENDAPAT ULAMA SAHABAT

🏡 Grup WA Srandakan belajar "Sunnah".

📒
 *APAKAH PENDAPAT ULAMA' PARA SAHABAT NABI ADALAH DALIL YANG TIDAK BOLEH DISELISIHI*
📕

🎙 *PERTANYAAN*:

"Apakah pendapat ulama para sahabat Nabi yang mereka mengetahui tentang tafsir Al Qur'an seperti Ibnu 'Abbas adalah hujjah ,sehingga tidak boleh menyelesihi pendapat mereka"?

🎙 *JAWABAN:*

"Pendapat sahabat Nabi di sisi para Ahli ilmu - apabila memang jalurnya sah - maka ada beberapa kondisi [ secara global ] yaitu :

🏮🛡🏮🛡 *BAGIAN 1* 🏮🛡🏮🛡

Perkataan sahabat yang tidak mungkin dihasilkan dari ijtihad dan buah pemikiran,dan hanya melalui jalur riwayat saja, seperti tentang masalah yang ghoib.

Maka perkataan sahabat yang seperti ini dapat dijadikan sandaran dan dihukumi terangkat sampai Nabi [ hadits marfu' ] dikarenakan di sini mengandung makna kuat bahwa perkataan sahabat tersebut adalah perkataan Nabi shollallahu'alaihi wa sallam.

Dan terkadang para sahabat meriwayatkan sunah Nabi dengan lafazhnya dan disandarkan kepada Nabi - shollallahu'alaihi wa sallam - ,dan terkadang para sahabat meriwayatkan Sunnah dengan maknanya dan tidak disandarkan secara khusus apabila muncul dalam bentuk fatwa atau jawaban atas suatu pertanyaan.

Sebagai contoh :
Allah ta'ala berfirman :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ [البقرة : 197]

( 197 )   (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
[ QS Al Baqarah : 197 ]

Dari Abdullah bin 'Abbas - rodhiyallahu 'anhuma - :
"Tidak boleh ihrom untuk haji kecuali di bulan - bulan haji;maka yang termasuk Sunnah haji adalah ihrom [ niat haji ] di bulan - bulan haji "
[ HR Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya 4/162 ]

Menyandarkan sesuatu kepada "Sunnah" tentu saja ditopang oleh riwayat bukan hanya sekedar pendapat dan ijtihad.

Al imam Ibnu Katsir - rohimahullah ta'ala - berkata :

"Dan ini jalurnya shohih, sedangkan perkataan seorang sahabat :

 " من السنة كذا "
"Termasuk Sunnah adalah seperti ini "
Dihukumi hadits marfu' [ sampai kepada Rosulullah ] menurut kebanyakan ulama,lebih - lebih yang mengatakan adalah Abdullah bin 'Abbas ketika menafsirkan Al Qur'an,karena beliau termasuk pakar penafsir Al Qur'an [ di zaman Nabi ]
Selesai [ Tafsir Ibnu Katsir 1:541 ].

Akan tetapi dikecualikan dari hal ini apabila di sana terdapat makna yang kuat bahwa hal tersebut bersumber dari riwayat - riwayat isroiliyyat yang dinukil dari ahlulkitab [ Yahudi atau Nashroni ].

Berkata Syaikh Muhammad Al Amin As Syinqithiy - rohimahullah ta'ala - :

"Apabila perkataan sahabat tersebut memang tidak ada celah bagi pendapat di dalamnya maka perkataan sahabat tersebut dihukumi marfu' sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu hadits sehingga perkataan tersebut lebih dikedepankan daripada qiyas dan dikhususkan Nash dengan perkataan sahabat tersebut apabila tidak diketahui sahabat tersebut mengambil dari riwayat isroiliyyat".
Selesai [ Mudzakkirotu ushulilfiqhi : 256 ]

Maka jika mengandung makna kuat bahwa perkataan tersebut dinukil dari Ahlulkitab,maka pada kondisi ini dihukumi perkataan tersebut adalah kabar Isroiliyyat; dan hukum riwayat isroiliyyat adalah sebagaimaa dijelaskan oleh Syaikh pakar tafsir Muhammad Al Amin As Syinqithiy - rohimahullah ta'ala - :

" Dan telah diketahui bahwasannya riwayat dari Bani Israil termasuk kabar Isroiliyyat yang memiliki 3 kondisi hukum :

🍀 *Salah satunya adalah wajib untuk dibenarkan* yaitu apabila terdapat dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah yang sah yang membenarkannya.

🍉 *Yang kedua adalah wajib didustakan* yaitu riwayat isroiliyyat yang terdapat dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah yang menunjukkan kedustaannya.

🌴 *Yang ke tiga adalah tidak boleh didustakan dan tidak pula dibenarkan* yaitu apabila tidak ada dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah yang menetapkan kebenaran dan kedustaannya".
Selesai dari " Adwaulbayan [ 4:238 ]

Sebagai contoh :

Hadits tentang "Fitnah-fitnah" yang diriwayatkan oleh An Nasai dalam "As Sunan Al Kubro " [ 10/172-183 ],
dari Ibnu 'Abbas - rodhiyallahu'anhuma - dalam menafsirkan firman Allah ta'ala :

وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا ۚ [ طه : ٤٠ ]

dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan;
[ QS Toha : 40 ]
Yaitu hadits yang sangat panjang.

Ibnu Katsir - rohimahullah ta'ala - setelah menyebutkan nya beliau bersabda :
"Demikianlah Al Imam An Nasai meriwayatkan dalam "As sunan Al Kubro,dan dikeluarkan juga oleh Abu Ja'far Bin Jarir dan Ibnu Abi Hatim dalam tafsir mereka semuanya dari hadits Yazid bin Harun dan statusnya adalah mauquf  termasuk perkataan Ibnu 'Abbas dan tidak ada yang marfu' kecuali hanya sedikit,
Dan sepertinya Ibnu 'Abbas - rodhiyallahu'anhu - telah mengambil dari kisah Isroiliyyat yang boleh dinukil dari Ka'ab Al ahbar atau selainnya, Wallahu a'lam.
Dan aku telah mendengar Syaikh kami Al Hafidz Abulhajjaj Al Mizzi berkata seperti itu juga".
Selesai dari "Tafsir Ibnu Katsir [ 5/293 ].

🏮🛡🏮🛡 *BAGIAN KE DUA* 🏮🛡🏮🛡

Perkataan sahabat Nabi yang dikatakan dengan sebab ijtihad dan pendapat.

Maka yang seperti ini ada beberapa kondisi :

🍁 *_Kondisi pertama_*

Apabila bertentangan dengan Nash Syar'i maka dikedepankan Nash dan perkataan sahabat tidak boleh diamalkan.

Contoh :
Allah ta'ala berfirman :

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ  [النساء : 11]

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.
[ QS An Nisa' : 11 ]

Allah ta'ala menyatakan bahwa bagian warisan anak - anak wanita dengan anak - anak laki-laki,bagian warisan anak-anak wanita setiap orang apabila jumlahnya lebih dari dua dan bagian warisan anak wanita jika sendirian sedangkan tidak ada pernyataan atau Nash yang menunjukkan bagian bagi warisan dua saudara wanita.

Maka Ibnu 'Abbas - rodhiyallahu'anhu - berfatwa bahwa bagi dua wanita bersaudara mendapatkan setengah dari harta warisan padahal para ulama setelahnya sepakat/Ijma' menyelisihi pendapat Ibnu 'Abbas dan mereka mengatakan bahwa bagi mereka mendapatkan 2/3 harta warisan.

Ibnu Al Mundzir - rohimahullah ta'ala - berkata:
"Allah ta'ala mewajibkan bagian bagi satu anak wanita adalah setengah dan bagi anak wanita bersaudara lebih dari dua adalah 2/3 dan tidak mewajibkan bagian bagi dua anak wanita bersaudara secara Nash dalam Al Qur'an.
Dan para ulama telah sepakat bahwa warisan bagi dua anak wanita bersaudara adalah 2/3 bagian sehingga telah paten kesepakatan mereka dan setiap zaman telah berlaku seperti itu hingga waktu sekarang...".
Selesai dari kitab "Al Isrof 4/316.

Dan diantara sandaran para ulama adalah :

Hadits Jabir bin Abdillah - rodhiyallahu'anhu - berkata :

"Datanglah seorang istri dari Sa'ad bin ar Robi' bersama kedua putrinya dari perkawinannya dengan Sa'ad kepada Rosulullah shollallahu'alaihi wa sallam kemudian dia berkata :

"Wahai Rasulullah!ini adalah kedua putri Sa'ad bin Ar Robi' yang dia telah terbunuh mati syahid ketika berperang bersama anda di perang Uhud sedangkan pamannya telah mengambil harta keduanya sehingga tidak meninggalkan bagi mereka berdua harta serta tidak akan dinikahkan kecuali mereka berdua memiliki harta?".
Rosulullah bersabda :
"Allah akan memberikan keputusan tentang itu, kemudian turunlah ayat : ayat - ayat tentang hukum waris.maka kemudian Rosulullah mengutus seseorang kepada pamannya ,kemudian Rosulullah berkata kepadanya :
"Berikanlah 2/3 bagian harta warisan kepada kedua putri Sa'ad dan berikan kepada ibu mereka 1/8 dan sisanya adalah untukmu!".
[ HR At Tirmidzi :2092 seraya berkata : "hadits ini Hasan Shohih" dan dishohihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabiy dalam "Al Mustadrok "[ 4:334 ] dan dihasankan  oleh Syaikh Al Albani dalam "Irwaulgholil [ 6/121-122 ]

Ibnu Hajar - rohimahullah ta'ala - berkata :
"Dan telah bersendirian Ibnu 'Abbas dalam menghukumi  bagian 2 anak wanita bersaudara sama seperti satu anak wanita sedangkan Jumhur menolak pendapat tersebut,dan mereka berselisih dalam sumber pengambilan pendapat mereka sehingga dikatakan hukum warisan bagi 2 anak wanita bersaudara sama seperti hukum warisan bagi  3 anak wanita bersaudara atau lebih,dan dalilnya adalah penjelasan dari Sunnah dikarenakan Ayat tersebut ketika mengandung makna kemungkinan yang Sunnah kemudian menjelaskan bahwa hukum bagia dua anak wanita bersaudara adalah seperti hukum anak wanita bersaudara lebih dari dua.
Dan yang demikian itu  jelas dalam sebab turunnya ayat ketika sang paman menghalangi dua anak perempuan Sa'ad untuk mengambil harta warisan maka sang ibu mengeluhkan kepada Rosulullah,maka Rosulullah bersabda :
"Allah akan memutuskan perkara itu"
Maka turunlah ayat tentang pembagian waris.
Lalu Rosulullah mengutus seseorang kepada sang paman tersebut dan berkata :
"Berikanlah 2/3 harta waris kepada 2 Puteri sa'ad!"
...dan kemungkinan Ibnu 'Abbas belum sampai kepadanya keterangan ini sehingga beliau mengambil dari zhohirnya ayat.
Selesai dari "Fathul bari [ 12/15 - 16 ]

🍒 *_kondisi ke dua_*

Perkataan sahabat yang diselisihi oleh sahabat yang lain.

Maka dalam kondisi seperti ini perkataan seorang dari mereka bukanlah hujjah namun harus dikuatkan perkataan yang mana yang paling kuat dan tidak boleh keluar dari perkataan mereka semua.

Syaikhulislam Ibnu Taimiyah - rohimahullah ta'ala - berkata :
"Dan apabila para sahabat berselisih maka dikembalikan perselisihan mereka kepada Al Qur'an dan As Sunnah dan perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah apabila menyelisihi perkataan sebagian sahabat yang lain sesuai kesepakatan para ulama'".
Selesai dari "Majmu' Al Fatawa [ 20:14] ".

Contohnya :
Seorang yang sedang haji kemudian dia bercampur dengan istrinya setelah tahallul awwal dan sebelum thowaf ifadhoh.

Ibnu 'Abbas - rodhiyallahu'anhu - berfatwa :
Bahwasanya dia cukup keluar saja menuju Tan'im kemudian umroh dan membayar fidyah.

Sedangkan Ibnu 'Umar - rodhiyallahu'anhu -  berfatwa bahwasanya hajinya telah rusak maka dia wajib haji sekali lagi.

Maka pada kondisi seperti ini diambil pendapat yang terkuat di antara pendapat mereka:
Syaikhulislam Ibnu Taimiyah - rohimahullah ta'ala - berkata :
"Qotadah meriwayatkan dari 'Ali bin 'Abdillah Al Baariqiy :
"Bahwasanya telah datang seorang laki-laki dan seorang wanita [ untuk meminta fatwa ] kepada Abdullah bin 'Umar keduanya telah melaksanakan seluruh manasik haji semuanya selain thowaf kemudian mereka melakukan jimak,maka Ibnu 'Umar berkata :
"Wajib bagi keduanya untuk haji di tahun depan"
Maka laki - laki itu berkata : " aku adalah seseorang yang datang dari negeri Oman sedangkan rumah kami adalah daerah pelosok".
Ibnu 'Umar berkata : " walaupun kalian dari negeri Oman dan rumah kalian di pelosok,hajilah kalian berdua di tahun depan!".

Kemudian mereka berdua mendatangi Ibnu 'Abbas ,maka Ibnu 'Abbas menyarankan mereka agar menuju Tan'im kemudian tahallul untuk umroh ,sehingga 4 mil menempati tempatnya 4 mil,ihrom ditempatnya ihrom,thowaf di tempatnya thowaf".
Diriwayatkan Sa'id bin Abi 'Arubah dalam manasik darinya ,dan diriwayatkan  oleh Malik dari Tsaur bin Zaid Ad daily dari Ikrimah dia berkata :
"Aku tidak menyangkanya kecuali dari Ibnu 'Abbas dia berkata :
"Orang yang mencampuri istrinya sebelum thowaf ifadhoh maka dia umroh saja dan membayar Al Hadyu"
....
Maka apabila para sahabat berselisih menjadi  dua pendapat :

1. mewajibkan haji sempurna
2. mewajibkan umroh

Maka tidak boleh keluar dari 2 pendapat tersebut dan tidak boleh merasa puas dengan selain pendapat mereka.
Selesai.
[ Syarhul'umdah - manasik 3:239-240 ]

🍀 *_Kondisi ke tiga_*

Perkataan sahabat yang telah tenar dan tidak ada seorangpun dari sahabat yang lain yang menyelesihinya.

Maka yang seperti ini oleh jumhur ulama' adalah hujjah.
Syaikhulislam Ibnu Taimiyah berkata :
"Adapun perkataan para sahabat jika telah tersiar dan tidak ada pengingkaran di zamannya maka menurut jumhur ulama' perkataan sahabat ini ada hujjah"
Selesai dari Majmu' Al Fatawa [ 20/14 ].

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy - rohimahullah - berkata :
" Dan jika - perkataan sahabat - tentang perkara yang memang ada ruang untuk berpendapat padanya kemudian perkataan tersebut telah tersebar di kalangan sahabat dan tidak nampak penyelisihan padanya maka itu adalah Ijma' sukutiy dan merupakan hujjah menurut kebanyakan ulama'.
Selesai dari Mudzakkirotu ushulilfiqhi hal : 256.

Contohnya :

Pada suatu hari 'Umar bin Khattab berkata kepada para sahabat Nabi - shollallahu'alaihi wa sallam - :
"Pada hal apa ayat ini turun ?

أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَن تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ

Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun ?

Maka para sahabat menjawab :
"Allah yang lebih mengetahui"

Maka marahlah 'Umar kemudian beliau berkata :
"Katakanlah : kami tahu atau kami tidak tahu!".
Maka Ibnu 'Abbas - rodhiyallahu'anhu - berkata :
"Wahai Amirul mukminin ada sesuatu dalam diriku mengenainya"
Berkatalah 'Umar : "wahai anak pamanku katakanlah pendapatmu dan janganlah memandang rendah dirimu!"
Ibnu 'Abbas berkata : "ayat tersebut dijadikan contoh dalam berbuat amalan"
'umar berkata : " amalan apa?"
Ibnu 'Abbas berkata : " untuk beramal "
Umar berkata : "yaitu untuk seorang laki - laki yang kaya yang beramal ketaatan kepada Allah 'azza wa jalla, kemudian Allah mengutus syaitan untuk mengganggunya sehingga dia berbuat maksiat sampai - sampai menghilangkan amal kebaikannya"
[ HR Al Bukhori : 4538 ]

Maka ini adalah tafsir Ibnu 'Abbas yang disetujui oleh 'Umar bin Al Khoththob  - rodhiyallahu'anhu - dan tidak ada seorangpun yang hadir yang mengingkari pendapatnya sehingga pendapat ini menjadi pendapat yang pantas dijadikan sandaran dalam menafsirkan ayat ini.
Oleh karena itu Ibnu Katsir - rohimahullah ta'ala - berkata setelah mendatangkan hadits tersebut :

Dalam hadits ini sudah cukup untuk menjadi tafsir ayat ini.
Selesai dari Tafsir Ibnu Katsir [ 1; 696 ]

🌼 *_Kondisi ke empat_*

Perkataan sahabat Nabi apabila kita tidak mengetahui  kemasyhurannya dan kita tidak mengetahui adanya seorang sahabat Nabi yang lain yang mengingkarinya.

Maka jumhur 'ulama menerima perkataannya dan menjadikan perkataannya sebagai sandaran dalam berhujjah.

Syaikhulislam Ibnu Taimiyah berkata :
"Apabila sebagian sahabat berpendapat dan sahabat yang lain tidak menyelisihi pendapatnya dan perkataan tadi tidak masyhur maka terjadi beda pendapat ulama [ dalam menghukuminya ].
Jumhur ulama' menjadikannya sebagai hujjah seperti Abu Hanifah,imam Malik,imam Ahmad dalam pendapatnya yang Mashur dan imam Asy Syafi'i dalam salah satu pendapatnya serta dalam buku - bukunya yang baru beliau berhujjah dengannya tidak hanya dalam satu tempat...".
Selesai dari "Majmu'Al Fatawa"[ 20/14 ]

Dan termasuk dalam kondisi ini adalah apa yang menjadi pendapatnya Ibnu 'Abbas dalam hal tafsir,dan tidak diketahui sahabat Nabi yang lain yang menyelisihi dan tidak pula menyetujuinya.

Wallahu a'lam.

🌐  https://islamqa.info/ar/229770

🖊 Alih bahasa : Juantara Abdulaziz

و صلى الله على نبينا محمد وعلى آله و صحبه و سلم
و آخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐🌐

229770: هل أقوال علماء الصحابة حجة لا يجوز مخالفتها

السؤال :
هل قول علماء الصحابة ، العارفين بتأويل القرآن ، كابن عباس ، رضي الله عنهما ، حجة ، لا يجوز مخالفتها ؟

تم النشر بتاريخ: 2015-05-12

الجواب :
الحمد لله
قول الصحابي عند أهل العلم - إذا صحّ السند إليه - له عدة حالات– على وجه الاجمال - :
القسم الأول :
قول الصحابي الذي لا يقال مثله بالاجتهاد والرأي وإنما سبيله الرواية فقط ، كأن يكون عن أمر غيبي مثلا .
فهذا القول يعتمد عليه ويكون له حكم الرفع ، فهنا احتمال قوي أنه من قول النبي صلى الله عليه وسلم ، والصحابة أحيانا يروون السنة بلفظها ومسندة إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، وأحيانا بمعناها وغير مسندة خاصة إذا خرجت على سبيل الفتوى أو الجواب على سؤال .
مثال ذلك :
قال الله تعالى :
( الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ) البقرة ( 197 ) .
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: " لَا يُحْرِمُ بِالْحَجِّ إِلَّا فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ ؛ فَإِنَّ مِنْ سُنَّةِ الْحَجِّ أَنْ تُحْرِمَ بِالْحَجِّ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ " رواه ابن خزيمة في صحيحه ( 4 / 162 ) .
فنسبة شيء إلى السنة عمدته الرواية لا الرأي والاجتهاد .
قال ابن كثير رحمه الله تعالى :
" وهذا إسناد صحيح ، وقول الصحابي : " من السنة كذا " في حكم المرفوع عند الأكثرين ، ولا سيما قول ابن عباس تفسيرا للقرآن ، وهو ترجمانه " .
انتهى من" تفسير ابن كثير " ( 1 / 541 ).
لكن يستثنى من هذا إذا كان هناك احتمال قوي أنه من الروايات الاسرائيلية المنقولة عن أهل الكتاب .
قال محمد الأمين الشنقيطي رحمه الله تعالى :
" فإن كان مما لا مجال للرأي فيه فهو في حكم المرفوع ، كما تقرر في علم الحديث ، فيقدَّمُ على القياس ، ويُخَصُّ به النص , إن لم يُعْرَف الصحابي بالأخذ من الإسرائيليات " .
انتهى من " مذكرة أصول الفقه " ( ص 256 ) .

فإذا كان الاحتمال القوي أنه من الأخبار المنقولة عن أهل الكتاب ؛ ففي هذه الحالة يكون له حكم الأخبار الإسرائيلية ؛ وحكمها كما بينه الشيخ المفسر محمد الأمين الشنقيطي رحمه الله تعالى :
" من المعلوم أن ما يروى عن بني إسرائيل من الأخبار المعروفة بالإسرائيليات له ثلاث حالات : في واحدة منها يجب تصديقه ، وهي ما إذا دل الكتاب أو السنة الثابتة على صدقه . وفي واحدة يجب تكذيبه ، وهي ما إذا دل القرآن أو السنة أيضا على كذبه . وفي الثالثة لا يجوز التكذيب ولا التصديق ، وهي ما إذا لم يثبت في كتاب ولا سنة صدقه ولا كذبه " .
انتهى من " أضواء البيان " ( 4 / 238 ) .
ومثال ذلك :
" حديث الفتون " الذي رواه النسائي في " السنن الكبرى " ( 10 / 172 – 183 ) عن ابن عباس رضي الله عنه في تفسير قوله تعالى : ( وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا ) طه / 40 ، وهو حديث طويل جدا .
قال ابن كثير رحمه الله تعالى بعد أن ذكره :
" هكذا رواه الإمام النسائي في السنن الكبرى ، وأخرجه أبو جعفر بن جرير وابن أبي حاتم في تفسيريهما كلهم من حديث يزيد بن هارون به ، وهو موقوف من كلام ابن عباس ، وليس فيه مرفوع إلا قليل منه ، وكأنه تلقاه ابن عباس رضي الله عنه مما أبيح نقله من الإسرائيليات عن كعب الأحبار أو غيره ، والله أعلم . وسمعت شيخنا الحافظ أبا الحجاج المزي يقول ذلك أيضا " انتهى من " تفسير ابن كثير " ( 5 / 293 ) .
القسم الثاني :
قول الصحابي الذي يقال مثله بالاجتهاد والرأي .
وهذا له عدة حالات :
الحالة الأولى :
إذا خالف نصا شرعيا : فيقدم النص ولا يعمل بقول الصحابي .
مثال ذلك :
قال الله تعالى :
( يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ) النساء ( 11 ) .
فالله نص على نصيب ميراث البنات مع الأولاد ، ونصيب البنات لوحدهن إذا كن فوق اثنتين وعلى نصيب البنت وحدها ، ولم ينص على نصيب البنتين .
فابن عباس رضي الله عنهما أفتى بأن للبنتين نصف التركة .
وقد أجمع أهل العلم بعده على خلاف قوله وقالوا بأن لهن الثلثين .
قال ابن المنذر رحمه الله تعالى :
" وفرض الله تعالى للبنت الواحدة النصف ، وفرض لما فوق الثنتين من البنات الثلثين ، ولم يفرض للبينتين فرضاً منصوصا في كتابه .
وأجمع أهل العلم على أن للثنتين من البنات الثلثين ، فثبت ذلك بإجماعهم وتوارث في كل زمان على ذلك إلى هذا الوقت ..." انتهى من " الإشراف " ( 4 / 316 ) .
ومما استدل به أهل العلم .
حديث جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: " جَاءَتْ امْرَأَةُ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ بِابْنَتَيْهَا مِنْ سَعْدٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَاتَانِ ابْنَتَا سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ ، قُتِلَ أَبُوهُمَا مَعَكَ يَوْمَ أُحُدٍ شَهِيدًا ، وَإِنَّ عَمَّهُمَا أَخَذَ مَالَهُمَا ، فَلَمْ يَدَعْ لَهُمَا مَالًا وَلَا تُنْكَحَانِ إِلَّا وَلَهُمَا مَالٌ ، قَالَ: يَقْضِي اللَّهُ فِي ذَلِكَ ، فَنَزَلَتْ : آيَةُ المِيرَاثِ ، فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَمِّهِمَا ، فَقَالَ : أَعْطِ ابْنَتَيْ سَعْدٍ الثُّلُثَيْنِ ، وَأَعْطِ أُمَّهُمَا الثُّمُنَ ، وَمَا بَقِيَ فَهُوَ لَكَ ) رواه الترمذي ( 2092 ) وقال : " هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ " ، وصححه الحاكم والذهبي " المستدرك " ( 4 / 334 ) ، وحسنه الألباني " إرواء الغليل " ( 6 / 121 – 122 ) .
قال ابن حجر رحمه الله تعالى :
" وقد انفرد بن عباس بأن حكمهما حكم الواحدة وأبى ذلك الجمهور ، واختلف في مأخذهم فقيل حكمهما حكم الثلاث فما زاد ، ودليله بيان السنة فإن الآية لما كانت محتملة بينت السنة أن حكمهما حكم ما زاد عليهما ، وذلك واضح في سبب النزول فإن العم لما منع البنتين من الإرث وشكت ذلك أمهما قال صلى الله عليه وسلم لها ( يقضي الله في ذلك ) فنزلت آية الميراث ، فأرسل إلى العم فقال : ( اعط بنتي سعد الثلثين ) ... ويعتذر عن ابن عباس بأنه لم يبلغه فوقف مع ظاهر الآية " انتهى من " فتح الباري " ( 12 / 15 – 16 ) .

الحالة الثانية :
قول الصحابي إذا خالفه غيره من الصحابة .
ففي هذه الحالة لا يكون قول أحدهم حجة دون الآخر ، بل يرجح بين أقوالهم ولا يخرج عنها.
قال ابن تيمية رحمه الله تعالى :
"وإن تنازعوا رد ما تنازعوا فيه إلى الله والرسول ، ولم يكن قول بعضهم حجة مع مخالفة بعضهم له باتفاق العلماء " انتهى من " مجموع الفتاوى " ( 20 / 14 ) .
ومثال لذلك :
الحاج إذا جامع زوجته بعد التحلل الأول وقبل طواف الإفاضة ، فأفتى ابن عباس رضي الله عنه ؛ بأنه يكفيه أن يخرج إلى التنعيم فيعتمر وعليه فدية .
وأفتى ابن عمر رضي الله عنه ؛ بأن حجه قد فسد ، وعليه الحج مرة أخرى .
ففي هذه الحالة يرجح بين أقوالهم .
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله تعالى :
" روى قتادة عن علي بن عبد الله البارقي : ( أن رجلا وامرأة أتيا ابن عمر قضيا المناسك كلها ما خلا الطواف فغشيها – أي جامعها - ، فقال ابن عمر : عليهما الحج عاما قابلا ، فقال: أنا إنسان من أهل عمان ، وإن دارنا نائية ، فقال: وإن كنتما من أهل عمان ، وكانت داركما نائية ، حجا عاما قابلا ، فأتيا ابن عباس ، فأمرهما أن يأتيا التنعيم ، فيهلا منه بعمرة ، فيكون أربعة أميال مكان أربعة أميال ، وإحرام مكان إحرام ، وطواف مكان طواف ) رواه سعيد بن أبي عروبة في المناسك عنه ، وروى مالك عن ثور بن زيد الديلي ، عن عكرمة – قال : لا أظنه إلا عن ابن عباس - قال: " الذي يصيب أهله قبل أن يفيض : يتعمر ويهدي " ... فإذا اختلف الصحابة على قولين :
أحدهما: إيجاب حج كامل ، والثاني : إيجاب عمرة . لم يجز الخروج عنهما ، والاجتزاء بدون ذلك " انتهى من " شرح العمدة - المناسك " ( 3 / 239 – 240 ) .

الحالة الثالثة :
قول الصحابي إذا اشتهر ولم نعلم أحدا من الصحابة أنكره .
فمثل هذا القول جعله جمهور أهل العلم حجة .
قال ابن تيمية رحمه الله تعالى :
" وأما أقوال الصحابة ؛ فإن انتشرت ولم تنكر في زمانهم فهي حجة عند جماهير العلماء".
انتهى من " مجموع الفتاوى " ( 20 / 14 ) .
وقال محمد الامين الشنقيطي رحمه الله تعالى :
" وإن كان – أي قول الصحابي – مما للرأي فيه مجال ، فإن انتشر في الصحابة ولم يظهر له مخالف فهو الإجماع السكوتي ، وهو حجة عند الأكثر " .
انتهى من " مذكرة أصول الفقه " ( ص 256 ) .
ومثال ذلك :
قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمًا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " فِيمَ تَرَوْنَ هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ : ( أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ ) ؟ قَالُوا : اللَّهُ أَعْلَمُ ، فَغَضِبَ عُمَرُ فَقَالَ : قُولُوا نَعْلَمُ أَوْ لاَ نَعْلَمُ ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : فِي نَفْسِي مِنْهَا شَيْءٌ يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ ، قَالَ عُمَرُ : يَا ابْنَ أَخِي قُلْ وَلاَ تَحْقِرْ نَفْسَكَ ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : ضُرِبَتْ مَثَلًا لِعَمَلٍ . قَالَ عُمَرُ : أَيُّ عَمَلٍ ؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : لِعَمَلٍ ، قَالَ عُمَرُ: لِرَجُلٍ غَنِيٍّ يَعْمَلُ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ بَعَثَ اللَّهُ لَهُ الشَّيْطَانَ فَعَمِلَ بِالْمَعَاصِي حَتَّى أَغْرَقَ أَعْمَالَهُ " رواه البخاري ( 4538 ) .
وهذا تفسير من ابن عباس ، أقره عليه عمر رضي الله عنه ، ولم ينكر عليهما أحد ممن حضر ، فيكون قولا معتمدا في تفسير هذه الآية .
ولهذا قال ابن كثير رحمه الله تعالى بعد أن أورده :
" وفي هذا الحديث كفاية في تفسير هذه الآية " انتهى من " تفسير ابن كثير " ( 1 / 696 ) .

الحالة الرابعة :
قول الصحابي إذا لم نعلم باشتهاره ، ولا نعلم أن أحدا من الصحابة أنكره .
فجمهور أهل العلم على قبول قوله والاعتماد عليه .
قال ابن تيمية:
"وإن قال بعضهم قولاً ولم يقل بعضهم بخلافه ولم ينتشر ؛ فهذا فيه نزاع ، وجمهور العلماء يحتجون به ؛ كأبي حنيفة ، ومالك ، وأحمد في المشهور عنه ، والشافعي في أحد قوليه ، وفي كتبه الجديدة الاحتجاج بمثل ذلك في غير موضع ... " .
انتهى من " مجموع الفتاوى " ( 20 / 14 ) .

ويدخل في هذه الحالة ما استنبطه ابن عباس رضي الله عنه من التفسير ، ولم يعرف له مخالف ولا موافق من الصحابة .

والله أعلم .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa bukti Anda cinta kepada Allah ta'ala

ISTRI MENGELUH KARENA BANYAK TAMU

TANDA AMALAN DITERIMA [ KHUTBAH JUMAT ]