Hukum menutupi pelaku maksiat

😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷😷

PERINCIAN HUKUM MENUTUP AIB PELAKU MAKSIYAT

Pertanyaan:
" Saya bekerja di divisi penanganan kecelakaan,dimana telah datang kepada kami seorang wanita yang mengalami kecelakaan mobil bersama seorang pemuda.
Pemuda itu berkata kepada kami bahwasanya wanita tersebut tidak ada hubungan apapun dengannya, sedangkan mereka keluar berduaan [ kholwat ] yang tidak sesuai syar'iy,
Sehingga disini aku berselisih pendapat dengan teman - teman wanitaku,apakah kami perlu melaporkannya ataukah lebih utama menutupi kesalahannya?
Apakah kami berdosa jika tidak melaporkannya karena telah mendiamkan kemungkaran?
Ataukah kami mengikuti perbuatan Rosulullah sebagaimana ketika datang seorang yang telah mengakui bahwa dirinya telah berzina , kemudian beliau shalallahu 'alaihi wasallam berpaling darinya?
🎤JAWABAN:
"Al hamdulillah,
Apabila memang telah terbukti bahwa si wanita ini telah melakukan perbuatan maksiat dengan si pemuda ini,maka apabila perbuatannya tersebut bukan perkara yang masyhur dia lakukan ,namun sekedar ketergelincirannya maka menutup aibnya dan tidak melaporkannya kepada yang berwenang adalah lebih utama, namun tetap disertai pemberian nasehat,teguran,peringatam,penjelasan dan bimbingan akan bahaya dari perilakunya dan akibat buruknya.
Jika dia bertaubat,menyesali perbuatannya,beristighfar dan berjanji tidak akan mengulangi kembali perbuatannya maka disunnahkan untuk menutupi aibnya.
Dari Abu Huroiroh Radhiyallahu'anhu telah berkata:
telah bersabda Rosulullah shollallahu'alaihi wa sallam:
" Barang siapa yang menghilangkan kesulitan seorang mu'min di dunia niscaya Allah akan menghilangkan kesulitannya di hari kiamat.
Barang siapa memudahkan orang yang kesulitan niscaya Allah mudahkan perkaranya di dunia dan akhirat,barang siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan akhirat,dan Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya".( HR Muslim:2699 )

Namun apabila si wanita ini terkenal dengan keburukan dan kerusakannya ,dan juga bersikukuh dengan maksiatnya, bahkan tidak menampakkan taubat dan penyesalan maka melaporkannya kepada pihak yang berwenang adalah lebih utama ,bahkan terkadang wajib supaya dia jera sehingga tidak berpikir untuk mengulangi kemaksiatannya kembali selama-lamanya .
Ibnu Rojab rohimahullah berkata setelah menyebutkan dalil-dalil tentang dianjurkannya untuk menutup aib pelaku maksiat dan tidak mencemarkannya:
"Ketahuilah bahwasanya manusia itu ada 2 jenis:

1. Orang yang tertutupi aibnya dan tidak diketahui  bahwa dirinya berbuat maksiat maka jika dia terjatuh dalam maksiat karena kekeliruan atau ketergelincirannya maka tidak boleh dibuka aibnya,tidak boleh dirusak kehormatannya,tidak perlu diperbincangkan,dikarenakan yang demikian itu adalah ghibah yang diharamkan.
Inilah yang disebutkan dalam nash - nash syar'i diantaranya firman Allah ta'ala:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [النور : 19]

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.( An Nur:19 )

Maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji atas seorang mukmin yang tersembunyi aibnya atau tuduhan padahal dia terlepas darinya sebagaimana
 " kisah dusta ( tentang 'Aisyah Radhiyallahu Anha )".

Berkata sebagian Menteri  yang Sholih kepada orang yang memerintahkan yang ma'ruf :" berusahalah kalian sekuat tenaga untuk menutupi aib pelaku maksiat! karena sesungguhnya nampaknya maksiat-maksiat mereka adalah aib bagi umat Islam dan yang lebih utama adalah menutup aibnya sebagaimana jika orang datang dalam kondisi bertobat , menyesal dan mengakui bahwa dirinya layak diberlakukan had atas maksiatnya, sedangkan dia tidak merinci maksiatnya maka tidak perlu dimintai perincian tentang maksiatnya,namun cukup baginya untuk kembali  dan menutupi aib dirinya,sebagaimana Nabi shollallahu'alaihi wa sallam memerintahkan Ma'iz dan wanita Al Ghomidiyyah ( ketika telah berzina ) sebagaimana pula tidak digali aib dari orang yang berkata:"Aku layak di hukum had,maka lakukanlah kepadaku!"
Sebagaimana pula orang yang tertangkap karena kejahatannya namun belum sampai ke Imam/pengadilan maka hendaknya dia diberi pemaafan sehingga tidak sampai perkaranya kepada pengadilan.
Sebagaimana dalam sebuah hadits bahwa Nabi shollallahu'alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ، إِلَّا الْحُدُودَ ".

" Maafkanlah orang yang menjaga kehormatannya atas ketergelincirannya ,kecuali had"( HR Abu Dawud dan An Nasa'iy )

2. Orang yang terkenal akan maksiatnya,terang - terangan dalam melakukannya dan tidak peduli dengan dosa - dosanya bahkan tidak peduli dengan perkataan orang atas dirinya.
Maka inilah pendosa yang terang - terangan ,maka membicarakan aibnya bukan termasuk ghibah sebagaimana dinyatakan oleh Al Hasan Al Bashriy dan selainnya,jika seperti ini maka tidak mengapa untuk dibongkar aibnya dan supaya ditegakkan hukum had atasnya,yang demikian dinyatakan oleh sahabat-sahabat kami ( madzhab Hambali ) dengan berdalil sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam :
" Wahai Unais pergilah!carilah berita tentang wanita ini ( wanita yang berzina ini ) jika dia mengakui maka rajamlah !".
Maka kasus yang seperti ini tidaklah diberi pemaafan meskipun belum sampai perkaranya ke Imam ( hakim ) namun biarkan saja perkaranya sampai ke hakim sampai nantinya ditegakkan hukuman had baginya agar terhenti kemaksiatannya dan supaya membuat orang lain takut untuk berbuat maksiat tersebut.

Imam Malik berkata :
" Barangsiapa yang tidak diketahui darinya gangguannya terhadap manusia,hanya saja dia tergelincir dalam perbuatan maksiat maka tidak mengapa diberikan pemaafan sebelum sampai kepada imam,namun jika dia terkenal akan keburukan dan kerusakannya ,maka aku tidak suka jika seseorang memaafkannya,akan tetapi biarkan kasusnya sampai ditegakkan hukum had atas dirinya,diriwayatkan oleh IbnulMundzir dan selainnya".selesai .( Jaami'ul'ulum walhikam 1:341 ).

Asy syaikh Muhammad bin Sholih Al'Utsaimin - rohimahullah - berkata:
" Maksud dari *" menutupi aib "* adalah menyembunyikan aib, *namun menyembunyikan aib bukanlah sesuatu yang terpuji kecuali jika padanya terdapat kebaikan dan tidak mengandung kerusakan*.
Sebagai contoh:
Seorang penjahat apabila berbuat kejahatan maka kita tidak perlu menutupi kejahatannya apabila dia memang terkenal akan keburukan dan kerusakannya.
Namun apabila seseorang yang terkenal termasuk yang Istiqomah[  dalam berpegang teguh dengan Dinulislam ] secara lahirnya,kemudian dia berbuat yang tidak halal maka pada kondisi ini dituntut untuk menutup aibnya.
Maka menutup aib itu dilihat kepada maslahatnya,orang yang telah terkenal dengan keburukan dan kerusakannya tidak pantas untuk ditutupi aibnya,adapun orang yang Istiqomah dalam menjalankannya agama pada lahirnya kemudian tergelincir ke dalam kemaksiatan maka orang seperti inilah yang disunnahkan untuk ditutup aibnya".
Selesai dari syarh Al Arba'in An Nawawiyyah [ 1:172 ]

Wallahu a'lam

🌐https://islamqa.info/ar/201472

🖊Alih bahasa :
أبو فتية جوأنتارا  الأثري الجوفاطيني

و صلى الله على نبينا محمد وعلى آله و صحبه و سلم

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa bukti Anda cinta kepada Allah ta'ala

ISTRI MENGELUH KARENA BANYAK TAMU

TANDA AMALAN DITERIMA [ KHUTBAH JUMAT ]